Tentang kemanusiaan. Tentang kepedulian terhadap sesama. .
Nenek Hanija, umurnya hampir seumuran kemerdekaan negara Indonesia, Ia lebih muda 1 tahun, tepatnya 69 tahun. Seorang guru BK –yang hingga saat ini saya lupa namanya- di salah satu sekolah di Kabupaten Pangkep menemuiku yang sementara dalam urusan menyelesaikan tanggung jawab.
Nak, jika ada waktu, bolehkah menjenguk salah satu keluarga jauhku? Sebentar saja, Ia akan senang jika ada yang datang.
Tugas kali ini sebenarnya bertemu keluarga calon penerima beasiswa yang sedang saya urus. Tentang mereka yang ternyata memiliki semangat sekolah yang jauh lebih tinggi. Tentang meringankan beban keluarga agar dapat mewujudkan impian anak negeri .
“Iye bu, bisa bu. Dilewati kan bu?”
Ibu guru itu pun sumringah, segera ia pamit sebentar untuk selesaikan tugasnya, lalu menyusul kami yang di salah satu rumah siswa nanti.
Setengah jam kemudian, di perempatan jalan Ibu guru itu muncul. Menyapa dengan ceria.
“Nak rumahnya disana. Mari saya tunjukkan jalannya.”
Sebuah Rumah Panggung tepat di pinggiran sawah. Di belakang Ibu guru tersebut, saya dan teman jalan beriringan. Mengatur strategi membagi tugas. Wana, rekan kerjaku lebih memilih bagian melihat rumah dan lingkungan sekitar, saya mengikuti Ibu guru tersebut untuk bertemu langsung sanak keluarga yang ia maksud.
Saya menaiki tangga, tangga bergoyang parah, sedikit terkejut, saya merangkak keatas. Rumah itu sudah rapuh, beberapa sambungan kayu terlepas, terkena hempasan angin katanya.
Seorang nenek dengan tulang –tulang tubuhnya yang terlihat dengan jelas sedang duduk sendiri di salah satu kursi yang hanya berjumlah dua di rumahnya. Rumah itu langsung sebuah kamar dengan tempat tidur dan kandang ayam disebelahnya. Baju-baju berserakan, tidak bisa lagi di pilih mana baju bersih mana baju kotor. Sisi kamar yang lain lebih miris, tumpukan piring, tempat nasi, box-box makanan, rantang berserakan. Satu kompor dengan sebuah panci ditengahnya.
Udara di rumah itu tidak segar, bau –maaf- pesing dan ayam bersatu. Kepalaku berputar, menatap seisi rumah. Semakin melempar pandang, semakin teriris hati.
Ngapaki? Angngapai anne? Nai anne?
Nenek itu tersenyum, bertanya perihal keberadaan, bertanya tentang kedatangan saya.
Saya hanya bisa tersenyum, tidak dapat menjawab pertanyaan nenek Hanija. Kemampuan bahasa daerah saya terbilang rendah. Saya tidak mampu bercakap bahasa daerah Makassar. Jangankan bercakap. Memahaminya saja saya tidak bisa. Ibu guru itu pun berbicara dengan nenek itu, sesekali ia menerjamahkan hasil pembicaraan mereka.
Saya hanya bisa tersenyum, lucu melihat mereka berbicara. Entah apa yang dibicarakan nenek ini, tapi ekspresinya yang semangat sesekali tertawa kecil. Ia berbicara sambil memegang lututnya, lalu menyapu wajah, lalu tersenyum kembali.
“Nak, nenek ini sebatang kara, dulu tinggal berdua sama kakaknya. kakaknya meninggal. Tinggal dia sendiri. Nenek Hanija kerjaannya sehari-hari memungut botol atau gelas bekas di sekolah SD dekat sini, lalu menjual ke mas-mas yang selalu lewat tiap sore. Tapi semenjak lututnya sakit, ia hanya bisa duduk di rumah. “
“Bu, dimana anaknya bu? “
“Nenek Hanija belum menikah, ia tinggal sejak rumah ini ada. Dan sejak itu tidak pernah ada listrik hingga sekarang. “
Hati teriris kembali, tidak bisa saya bayangkan nenek ini hidup sendiri di rumah kayu yang hampir rubuh dan tak ada listrik. Dia hanya mengunakan minyak tanah. Ibu guru ini yang selalu memberikan minyak Tanah, kali ini dia juga yang sedang menguruskan listrik untuk di rumah ini. Mata saya tiba-tiba tertuju pada kandang ayam, Ibu guru menangkap pandanganku.
“Nak, nenek ini pelihara ayam, dulu ayamnya banyak disimpan dibawah rumah, tapi banyak yang mati dimakan hewan liar. Jadi satu-satunya ayamnya dia angkat keatas, untuk disimpan didekatnya. “
Nenek itu tetap sumringah sambil terus bercerita dengan bahasa yang tidak bisa kupahami. Saya hanya mengangguk, dan tersenyum. Mungkin ia senang ada teman cerita.
Kami pun berpamitan, segera saya bertemu Wana menceritakan keadaan diatas rumahnya.
“Nu, ini ada sumur, tapi kering “ Saya hanya menatap Wana.
“Nak disini juga tidak ada air, kamar mandinya tidak ada, jika ingin buang air, ia akan ke sawah. Mungkin ia juga buang air di atas rumahnya, makanya sedikit berbau. “
Selepas dari rumah nenek Hanija, saya dan Wana langsung membelikan bahan sembako dari toko-toko sekitar, untuk diserahkan kepada nenek sebatang kara itu.
Sebelum kembali ke Makassar, saya singgah di rumah Nenek Hanija.
“Nek, ini ada beberapa bahan makanan saya berikan nek. ini juga bahan masak dan yang lain – lain, ini juga ada sedikit uang untuk nenek”
Ibu guru yang menemani menyampaikan kalimat saya dalam bahasa Makassar. Nenek terharu, ia menutup wajahnya dengan amplop, sambil tertawa malu-malu ia tetap bercerita.
“Pa’risik battangku talebbakka nganre juku, anne doeka lakupakei nganre juku.”
“Nak, katanya : sakit perutku tidak pernah makan ikan, uang ini nanti saya pake makan ikan”
Saya hanya dapat tersenyum dan mengangguk. Tak kuat rasanya lama-lama berada di sini, setelah bersalaman sambil menyeka air mata, saya pamit pulang.
Begitu banyak orang yang selalu kekurangan saat ini, menghalalkan segala cara memenuhi nafsu duniawi.
Begitu banyak anak yang menyusahkan orang tuanya saat ini, meminta ini itu mengikuti trend saat ini.
Sebenarnya sederhana saja, cukup bersyukur dengan segalanya,tidak usah yang muluk muluk untuk jadikan gaya hidup.
Nenek hanija, dengan segala keterbatasan kehidupannya, ia masih selalu tertawa dan bersemangat dalam bercerita.Ia terlihat bahagia!
Duh Gusti… T_____T
iya kak mirna, si nenek itu padahal ketawa-ketawa senyum terus loh pas saya dateng, dia senang bercerita 🙂