Hidup itu seperti perjalanan, kadang naik kadang turun, kadang ke kiri, kadan ke kanan. Mau ke arah manapun, yang penting teruslah bergerak. Teruslah berjalan. Akan ditemukan banyak cerita, akan tiba di puncak.
Kahaya, sebuah desa yang berada di perbatasan bulukumba dan sinjai. Ini kali keempatnya saya mendatangi tempat ini. Dan setiap datang kesini, selalu ada perubahan jalan aspal yang sedang dibangun.
Kali ini perjalanan yang tidak terencana. Event ini memang sudah didengar jauh-jauh hari, Senandung Kopi Kahaya. Sempat dilemma karena urusan kantor –yang baru saja masuk- dan juga galau dengan trip lainnya. Tapi Tuhan memang sudah mengatur semuanya. Karena tidak dapat menyusul di rencana trip sebelumnya, usai urusan pribadi, saya mengikuti kegiatan ini.
Saya bukan penikmat kopi, tetapi sebagai teman hidup yang baik, liburan ini tidak akan saya lewatkan. Ini merupakan trip pertama bersama Kelas Menulis Kepo. Trip yang akhirnya membuka kedok diri ini sebenarnya hingga muncul kata Antebas –jangan tanyakan apa itu Antebas-.
Waktu sudah petang. Kami berjalan kaki menuju puncak yang disebut “tanjung” oleh warga disana. Dalam perjalanan, kami singgah sejenak di batu-batu yang yang dialiri air gunung. Karena lelah,kami rehat mengisi kampung tengah dengan peralatan camping seadanya. Makan mie kuah tanpa sendok. Beberapa langkah dari sungai, kami menemukan sekolah. Sekolah terpencil SD 350 Kahaya. Sekolah ini pernah menjadi lokasi Travelling and Teaching ke-3 dari 1000Guru Makassar. Rasa bahagia mencuat, ketika melihat siswa lewat masih menggunakan tas yang kami berikan.
Dalam perjalanan saya banyak berpapasan anak kecil, ada yang sibuk bermain sepeda. ada yang berlari-larian, ada yang sedang bermain dengan mereka seusianya. Dengan tas yang penuh cemilan dan coklat, saya menghampiri mereka. Sekadar menyapa sambil memberikan coklat. Bertanya nama dan sedang apa. Ada yang membalas dengan muka tanpa ekspresi, beberapa juga ada yang menjawab pelan, ada yang tersipu malu, ada yang mengambil coklat sambil menunjukkan giginya yang berantakan. Menyaksikan ekspresi mereka, rasa-rasa senang. Bahagia itu sederhana!
(Foto adik-adik yang ditemui di sepanjang perjalanan- doc. pribadi)
Semakin jauh melangkah, kami semakin naik, dan udara semakin dingin. Sebelum gelap. Kami tiba di rumah warga tempat kami menginap. Kediaman Bapak Arifin. Baru tiba, dan kami sudah disuguhi makan berat. Udara dingin membuat saya cepat lapar. Makan sore dirapel dengan makan malam. Langit mulai gelap, sekira pukul 19.00 seorang panitia memanggil kami. Untuk segera ke tanjung mengikuti Senandung Kopi Kahaya.
Mereka adalah Indonesia Movement Project (IMP), salah satu teman kelas menulis , Om Feri – yang ternyata ketua panitia- mengajak kami mengikuti acara ini. IMP merupakan sebuah komunitas di Bulukumba yang mendampingi desa Kahayya. Sudah setahun mereka mendampingi desa ini. Dengan program pendidikan dan ekonomi, mereka meningkatkan kualitas dan keunggulan lokal. Dari IMP ini juga telah terbentuk Rumah Baca untuk anak-anak di desa Kahayya.
Senandung Kopi Kahaya merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan kopi Kahaya. Nama Kahayya bersal dari bahasa Konjo yaitu “KAHA” yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, berarti “ KOPI“. Kata “KAHA“ ini kemudian ditambah akhiran “YYA” sehingga menjadi “KAHAYYA” dapat dimaknai dan disimpulkan bahwa Desa Kahayya adalah sebuah wilayah yang manyoritas penduduknya adalah petani kopi.
Pergelaran ini menjadi menarik, ditengah dinginnya udara malam, panitia memberikan kopi Kahayya dan sepotong gula merah. Acara dimulai dengan tarian dari siswa-siswi SMP Kindang. Pengunjung juga dihibur oleh beragam penampil. Akustikan dari Ryza (Vokalis Justbegood) dan MJ27, serta sinrilik dari Arif Budiman tentang Sejarah Desa Kahayya. Di sela-sela penampilan akustikan, muncul tarian dengan api – api dari sanggar Seni Al Farabi. Senandung Kopi Kahaya juga diisi dengan pembacaan puisi menarik dari Khrisna Pabichara.
Puisi oleh Khrisna Pabichara
Malam semakin larut, angin mulai kencang, dingin mulai menembus tubuh. Kami pun beranjak menuju tempat nginap masing-masing. Mengistirahatkan tubu untuk mengikuti kegiatan di hari kedua dari Senandung Kopi Kahaya yang diisi dengan kelas ceria untuk adik-adik Rumah Baca.
Matahari sudah tepat di atas kepala, tapi udara dingin membuat cuaca menjadi sejuk. Kami rombongan terakhir meninggalkan desa Kahayya. Dalam perjalanan pulang saya berpapasan dengan seorang anak laki-laki yang menarik besi. Besi bangunan itu diikat dengan sarung menjadi seperti tali ransel tas. Ditarik dari bawah melewati jalur Kahayya yang terus menanjak.
“Dik, besi ini mau dibawa ke mana?”
“Mau dibawa ke Sekolah kak”
“Sekolah?”
“iya kak, Saya membantu ayah saya membangun sekolah”
“Kenapa mau melakukan ini? kan berat?”
“Untuk sekolah dan agar bisa membahagiakan Ayah”
Adik-adik kuat penarik besi -doc. pribadi
Rasa haru membuncah, dengan sisa cemilan seadanya, saya berikan semuanya ke anak tersebut. Tidak terbayang, untuk melewati medan ini, saya hanya menggendong tas ransel berisi sleeping bag. Sisa barang yang lain saya titip dalam kerel. Dan anak ini membawa besi dan tetap tersenyum kepada siapapun yang berpapasan dengannya.
Terima kasih Kahayya,
Jangan Lupa Bahagia,
Jangan Lupa Makan Sore 🙂
Jangan lupa makan sore!
hahahah Sering-sering ki makan sore oppa hahaha