Sejak hari itu, sudah 63.244.800 detik ku lewati, tanpa kabarmu. Kamu yang perlahan menghilang dari berbagai jejak. Bukan hanya di dunia nyata, akun- akun mu pun demikian, tak ada lagi ceritamu yang menarik perhatianku.

Kamu yang selalu tiba-tiba, 63.244.800 detik sebelumnya pun begitu. Kamu yang muncul seketika, tepat depan rumahku. Menjemputku,  lalu menarikku dan berbicara di bawah gemerlap bintang. Kamu meminta maaf padaku, atas hilangnya kabarmu dalam 63.244.800 detik terakhir. Aku terdiam, ingin rasanya mengutuk atas sikapmu. Berjuta katapun berperang dalam hati, merespon permohonan maafmu, aku menunduk.

“Maaf kan aku, terkadang,  aku tidak ingin mengetahui kabarmu, Bukan tidak mau, tetapi karena akan lebih tersiksa batinku, jika mengetahui keadaan burukmu, dan Aku tidak berada disampingmu”.

Aku semakin terdiam, kita memang hidup di tempat yang berbeda. Jarak dan waktu menjadi musuh terbesar, menerkam dengan ganas segala hati yang sedang merindu.

“Nih”

Kamu menyodorkan sebuah kotak, berisikan sebuah cokelat khas negara kelahiranku.

“Aku membelinya sejak enam bulan yang lalu, ketika berkunjung ke negaramu dulu, belum expire kok. Menurutku, Kamu pasti merindukan cokelat ini kan ? Ya sudah, yuk kita pulang”

Seluruh tubuhku membeku seketika, hati bergetar hebat, mengguncang penopang tubuhku. Rasa dari hati terdalam memang sangat cepat bereaksi. Hal sekecil apapun akan memberikan respon terhadap tubuh. Pipi yang tiba-tiba bersemu, misalnya.

Diam, tersenyum, dan mengangguk. Aku mengikuti langkahmu, tanganmu tak lepas menggengam jariku. Tangan hangat itu, terekam jelas dalam otakku.

” Maafkan aku, tunggu aku di 63.244.800 detik berikutnya, Aku akan menemuimu. Berdamailah dengan detik. Agar tenang hatimu. ”

 ***

Sudah 63.244.800 detik yang ketiga, ” Apa aku masih harus menunggumu? bagaimana jika kali ini tidak sesuai harapanku? “

Jangan tanyakan pada detik yang bergerak. Ia pun tidak tahu jawaban atas pertanyaanmu, nantikan saja 63.244.800 detik berikutnya.

Hey… kamu? Apa Kabar ?