Gala Dinner itu di Fort Rotterdam, Makassar
Malam semakin gelap, beberapa cahaya obor mengelilingi taman. Di area tengah terdapat sekira 8 meja bundar dengan kursi putih dibalut kain berbentuk bunga-bunga. Sisi belakang area sudah tersedia beragam menu makanan khas Makassar. Satu booth berdiri di sebelah kiri taman, tulisan “Putu Cangkir Rappocini” tertempel rapi pada booth tersebut. Suasana Benteng Rotterdam tampak elegan nan romantis. Sebuah Gala Dinner dibawa naungan bintang untuk peserta Maritage Indonesia.
Saya berdiri di sisi kanan karpet merah. Sebuah karpet untuk para tamu. Sambil menunggu, saya berbincang ringan dengan pihak Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kota Makassar, mereka adalah penyelenggara Gala Dinner ini.
Suara tabuhan gendang dan teriakan berirama dari anak-anak yang berpakaian tradisional mulai terdengar. Dari pintu luar, barisan pemain Gandrang Bulo sudah beraksi. Pertanda tetamu sudah hadir.
“Battu rate ma ri buulang ..
Ma’ rencong-rencong… ma’ rencong-rencong…”
Bocah-bocah laki itu mahir, sambil bernyanyi, mereka memainkan potongan bambunya sehingga bunyinya berirama. Setelah deretan penari Gandrang Bulo, berbaris rapi peserta Maritage Indonesia. Mereka tampak bahagia, sesekali berhenti di karpet merah untuk berselfie ria. Peserta wanita menggunakan baju bodo, sedangkan yang lelaki memakai sarung tenun. Sambil diiringi Gandrang Bulo, satu-persatu peserta memasuki area tengah Benten Rotterdam . Gala Dinner dengan tema An Evening to Remember: Fort Rotterdam Under the Stars sudah siap.
Maritage, Multicultural Art and Heritage for International Development, Internasional adalah wadah global untuk mitra multisektoral dalam upaya berbagi nilai seni warisan budaya yang dapat berkontribusi pada pengembangan masyarakat. Salah satu aktifitas Maritage Indonesia adalah memperkenalkan budaya nusantara melalui program wisata-budaya. November 2015 lalu, Maritage Indonesia mengadakan kunjungan wisata budaya ke Solo dengan nama kegiatan “Solo Yuk…”. Beberapa bulan setelahnya, Maritage Indonesia memilih negara bagian timur Indonesia, yaitu Makassar dan Gowa dengan nama kegiatan “Makassar yukk…”
Sebanyak 45 peserta sudah mengisi kursi putih, berbincang ringan dengan kawannya. Mereka berasal dari luar Makassar, beberapa ada yang dari Singapura dan Thailand. Setelah Gandrang Bulo menyelesaikan aksinya, langsung dilanjutkan oleh pemain Sinrilik sekaligus pemandu acara. Sinrilik merupakan pertunjukan seni bertutur masyarakat suku Makassar.
Gesekan kesok-kesok, alat musik Sinrilik memecahkan suasanya. Pemainnya menyampaikan susunan acara dengan nada. Peserta Meritage Indonesia tampak terpesona, beberapa dari mereka mengabadikan master ceremony yang bergaya tradisional.
Selang beberapa saat, makan malampun dimulai. Peserta berjalan mengitari taman, melihat menu makan yang tersedia. Semua ada : kue asin, sayur-sayuran, beragam menu seafood, dan sebagainya. Segala menu makanan tradisional khas Makassar sudah siap.
Saya turut serta mengantri, mengambil menu mie kering dengan beragam potongan hewan-hewan laut, dan kue ringan. Sesekali pelayan datang mengisi gelas yang mulai kosong.
Lepas makan malam, bapak Walikota Makassar, Bapak Ir. H. Mohammad Ramdhan Pomanto atau yang biasa dikenal dengan Danny Pomanto bercerita banyak seputar Makassar.
“Kalau ditanya, kenapa ke Makassar? Jawabannya adalah : karena saya ingin makan di Makassar. Kenapa? Karena Makassar memiliki kuliner yang beragam.” Bapak Walikota bercerita banyak seputar kuliner Makassar. Bukan hanya seputar kuliner, beliau pun menceritakan singkat seputar sejarah Benteng Rotterdam.
Benteng Rotterdam merupakan peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo berupa benteng pertahanan yang dimodifikasi dengan sentuhan gaya Eropa oleh bangsa Kolonial. Benteng ini disebut juga Benteng Ujung Pandang. Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa Sultan Alauddin, Raja Gowa ke-14, konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari pegunungan karst di daerah Maros. Benteng ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Hari semakin malam, penampilan tarian 4 etnis dan tarian paraga menjadi suguhan terakhir untuk peserta Maritage Indonesia. Tarian empat etnis adalah tarian yang mewakili empat etnis yang mendiami Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, yaitu etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Tarian ini masing-masing mewakili keempat etnis besar ini dengan lagu, pakaian dan tarian khasnya. Sedangkan Paraga Tari Paraga adalah tarian khas Sulawesi Selatan yang dimainkan oleh 6 orang laki-laki dengan pakaian adat passapu’ untuk memperlihatkan atraksi dalam memainkan bola raga (bola takraw).
Mereka, peserta Maritage Indonesia yang berkunjung ke Makassar nampak antusias. Gala dinner ini merupakan agenda yang pas dalam memberikan kesempatan untuk mengenal budaya Makassar. Tempat bersejarah, beragam kuliner, serta tarian-tarian tradisional menjadi satu, menjadi agenda yang berkesan untuk para tamu. Mereka diberikan kesempatan, bukan hanya mencicipi makanan khas Makassar, tapi berpakaian serta merasakan satu hari menjadi orang Makassar.
Tulisan ini merupakan untuk Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Makassar selaku penyelenggara Gala Dinner bersama Maritage Indonesia
Tulisanx keren (y)
terima kasih kakakbebku :”)
Ini tulisan terkeren tentang acara di atas.
*menjura
apalah saya tanpa bimbingantaa oppa :”D
Kalau Nunu mi yang menulis ?????
haha kak qiah,, ini sudah jadi kemarin, tapi saya lupa share hihihi
Bw here kak Nunu 🙂 Visit back blogku yaa
haloo salam kenall 😀