لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
(Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.)
Masih dalam suasana Haji, hari ini tanggal 12 Dzulhijjah sebagai Hari Tasriq. Kurban masih dilaksanakan, dan yang berhaji mabit di Mina. Di Mina, jamaah melakukan rangkaian berhaji yaitu melempar Jumrah. Pelontaran jumrah ini merupakan rangkaian akhir sebagai simbolis perlawanan terhadap syaitan. Beruntung sekali yang berhaji tahun ini, dapat melontar jumrah leluasa tanpa berdesak-desakan.
Ah, tiba-tiba saya mengenang kembali pengalaman – pengalaman masa lalu ketika berhaji. Sudah cukup lama, terakhir itu ketika masih SMP dan camera digital masih jarang. Saya menggunakan handphone nokia 3310 tanpa camera. Jadi jejak kenangan hanya dalam ingatan, tapi perlahan-lahan mulai menguap tak berbekas.
Alhamdulillah, suatu kesyukuran saya dilahirkan sebagai anak dari Abi dan Ummi saya yang saat ini masih berada di Saudi Arabia. Mereka sudah 30 tahunan berada di Saudi Arabia. Katanya, ketika usia saya 40 hari, kami sudah ke Makkah untuk umroh. Nama Marwah pun jika saya dengar, ingatan akan terbang pada suasana Sa’i tujuhputaran antara bukit Shafa dan Marwah. Melakukan sa’i yang jadi bagian dalam beribadah merupakan hal yang saya senangi. Dalam bersa’i ada area untuk kursi roda dan area pejalan. Ada juga lampu hijau sebagai penanda untuk lari-lari kecil selama dalam area itu. Sebagai Nunu kecil, saya senang mengitari Shafa dan Marwah berjalan beriiringan meliuk-liuk antara jamaah, dan berlari kencang seperti dikejar orang, lalu ditegur Abi agar berlari kecil sesuai adab.
Balik cerita tentang berhaji. Sebagai anak yang menghabiskan 16 tahun awal di Riyadh, alhamdulillah orangtua saya diberikan kekuatan dan kesempatan setidaknya hampir setiap tahun berhaji. Ketika saya kembali ke Indonesia, kebiasaan itu tetap dilakukan, kecuali tahun ini, karena pandemi.
Perjalanan haji / umrah oleh mereka cukup unik. Katanya, Haji koboi. Seingat saya, kami jarang menyewa kamar di hotel atau penginapan. Jika kita Umroh tiga hari, nginapnya di Masjidil Haram. Makannya, nasi arab atau ayam crispy/broasted Al-Baik, tidak lupa selingan makan shawarma 2 bungkus atau tamis. Butuh yang segar? Air zam-zam dingin tersedia secara cuma-cuma.
Kami tinggal di Riyadh, ibu kota Saudi Arabia dengan jarak kurang lebih 8-9 jam berkendara mobil. Ketika berhaji, dan tinggal dalam waktu yang lebih lama daripada umrah. Maka oleh Abi saya, mobil diotak-atik sedemikian rupa, kursi tengah dicabut dan dipasangi kasur. Ah yah, mobil Abiku waktu itu seperti ini, merek Mitsubishi. Kami juga membawa tenda, kompor, tikar, dan kain seprei yang akan digunakan menjadi sekat membentuk ruang tertutup. Bahkan pernah membawa tv kecil lengkap dengan PS! Haha !
Berangkat dari rumah biasanya pada malam hari. Ummi saya akan menyiapkan banyak makanan tahan lama yang akan digunakan selama ibadah, seperti : buras dengan aluminium foil (daun pisang susah cuy di Arab) dan ayam masak lengkuas (Nasu likku’) khas makanan bugis. Penuh kearifan lokal ya, hehe.
Selama perjalanan kami akan melewati padang pasir. Pemandangan alam sepenuhnya warna coklat. Makanya ketika saya melakukan perjalanan antar daerah di Indonesia akan terpukau dengan hijau-hijau alam dan biru-biru laut. Apalagi kalau memandang laut pas sore hari. Pantulan matahari membentuk warna jingga keemasan lalu berubah gelap berganti bulan. Duh jadi butuh liburan !
Perjalanan beribadah ini penuh drama juga. Perjalanan antar kota di Saudi itu hening dan senyap. Jarang ada rumah penduduk, biasanya akan lewat gerombolan unta. Selebihnya akan senyap. Jarak antara Pom Bensin juga cukup jauh. Pernah suatu ketika mobil kehabisan bahan bakar. Dan tidak ada kendaaraan yang lewat. Yang saya ingat, saya menghabiskan bacaan Harry Potter berbab-bab hingga Abi saya mendapatkan orang baik yang mau membantu untuk mencari bahan bakar.
Pernah juga mobil mengalami kerusakan dan harus menunggu lama sampai bala bantuan datang. Ah betapa supernya orang tua saya ini. Disaat terjadi masalah dan panik, kami disuruh ayat kursi saja. Biar tenang katanya.
Pernah juga dalam perjalanan menuju Makkah untuk berhaji. Ah yah, check point. Untuk berhaji harus ada surat administrasi yang dikenal surat Tasrih semacam surat izin berhaji yang dibayar. Meskipun kami tinggal di tanah arab, tapi untuk berhaji juga ada aturannya. Untuk mendapatkan surat Tasrih ini juga ada ketentuannya. Jadi tidak bisa serta merta juga dengan mudah mengambil surat ini. Surat tasrih ini berlaku lima tahun sekali, Hal lain lagi, biaya tasrih cukup mahal. Saya tidak ingat dengan baik. apakah Abi saya ini menggunakan tasrih atau tidak, suratnya valid atau tidak, yang saya ingat kami tetap haji setiap tahun. Nah pernah pada suatu tahun, dalam perbatasan Makkah, ada pemeriksaan berkas-berkas dan tiba-tiba kami ditolak dan disuruh kembali ke Riyadh. Abi saya dengan sabar mengikuti arahan Pak Polisi untuk jalan putar ke arah yang berlawanan. Kembali ke Riyadh. Di mobil kami panik, sekali lagi kami disuruh mengaji oleh Abi. Baca ayatul Kursi. Ummiku baca segala surah agar dimudahkan. Setelah berjalan beberapa km, Abi saya putar balik. Dalam antrian kendaraan, tepat masa pergantian shift pak polisi. Tiba-tiba pak polisi yang cek berganti orang, dan kami diloloskan masuk ke dalam Makkah. Masih jelas dalam ingatan betapa leganya orang tua saya ketika melewati perbatasan Makkah.
Kata Huda : ” Nilai yang ku dapat disini adalah, ada Allah bersama kita. Orangtua kami mempercayai itu, jika Allah mengizinkan kami Haji, InsyaAllah akan dimudahkan. Jika tidak, maka kami akan ikhlas karena sudah menaruh harapan pada Allah. Alhamdulillah selama ini belum pernah kejadian gagal haji setelah berangkat.”
Setiba di Kota Makkah pun kami akan mencari parkiran yang luas. Saya lupa dimana tempatnya, tapi seingat saya disana begitu banyak kendaraan yang terparkir yang berasal dari beragam negara. Turki, Iran, dan negara lain. Mereka datang ada yang menggunakan minivan, mobil van besar, atau bus. Dengan barang yang penuh diatas mobil sebagai bekal perjalanan berhari-hari.
Begitu juga penampakan mobil kami, terkadang kalau perjalanan dalam kota saya senang memilih duduk diatas mobil bersama tumpukan barang. Ketika akan tidur, kami akan mencari spot terbaik lalu pasang kain seprai yang menjadi dinding kain. Pasang tenda dan tidak lupa kompor dengan kardus tertutup, agar angin tidak mematikan api. Disini kami beristirahat. Abi dan kakak saya biasa tidur di luar, kami yang perempuan di kasur dalam mobil. Sepertinya jiwa petualangku lahir disini, sudah hidup di lapangan sejak dini. Haha!
Di siang hari, selain beribadah orang tua kami akan sibuk berkelana dari satu hotel ke hotel lain untuk menemui sanak keluarga. Para nenek, para tante, para puang. Siapa saja. Ummi saya akan senang sekali jika bertemu jamaah yang berasal dari Pare-pare. Siapapun, akan ummi akan tawarkan bantuan jika ada kebutuhannya. Terkadang kami akan mengajak keluarga untuk berjalan-jalan selama di Makkah. Menunjukkan toko-toko murah, serba 1 riyal atau dua riyal untuk membeli oleh-oleh. Atau mengajak ke beragam tempat wisata lain dalam Makkah dan sekitarnya. Tanpa pamrih, Ummi saya akan senang hati menemui siapapun warga Pare-pare karena dapat berbicara bahasa bugis lagi.
Begitupun ketika di Mina, orang tua kami akan turut menemani keluarga-keluarga kami yang berhaji. Bergerak dari satu tenda ke tenda lain untuk bertemu. Tenda putih berjejer ini sangat luas dan banyak. Perlu kehati-hatian mengingat daerah atau akan tersasar. Selama di Mina, kami tidak tinggal dalam tenda, kami akan mencari area dekat-dekat tenda Indonesia dan berkemah disekitar sana.
Selama di Mina, suatu kewajiban juga untuk melempar jumrah. Ada tiga batu besar yang menjadi simbol syaitan. Jumrah Ula / sughra, Wusta dan Aqabah. Masa melontar Jumrah ini juga masa-masa yang berat bagi sebagaian jemaah. Berdesak-desakan yang tak jarang mengakibatnya banyak jamaah meninggal dunia. Pernah kejadian tragedi Mina yang mengakibatkan jamaah meninggal dalam jumlah banyak. Seperti tahun 2015, setidaknya 700 jamaah meninggal dan ratusan luka-luka.
Oh iya, sebelum pelontaran di Mina ini -dalam ritual haji juga- jamaah mabit di Muzdalifah untuk mengumpul batu kerikil. Dalam 1 kali pelontaran akan menghabiskan 7 batu kecil. Jumlah batu yang diambil tergantung berapa lama di Mina. Jika memilih nafar tsani, menghabiskan tiga hari tasriq (11,12,13 Dzulhijjah) di Mina maka kurang lebih sebanyak 70 batu kerikil yang dibutuhkan. Tapi jika memilih Naffar Awwal, yaitu hanya menghabiskan dua hari tasriq (11 dan 12 Dzulhijjah) maka setidaknya butuh 49 batu. Bagi saya, ini juga momen yang menyenangkan, mengumpulkan batu, biasanya saya bersaudara akan berlomba-lomba mengumpulkan batu sebanyak mungkin.
Ah, masih banyak kenangan-kenangan beribadah baik umroh atau berhaji yang dokumentasinya telah lenyap. Beribadah haji memang suatu pengalaman spiritual yang benar-benar berkesan.
Masih banyak cerita tentang beribadah Haji dan Umroh. Tapi karena sudah subuh dan saya mengantuk, setidaknya ini sedikit cerita yang saya ingat. Masih butuh bantuan untuk mengingatnya, jika ada yang punya pengalaman berhaji di masa lalu, sebelum ada motor skuter di Masjidil haram atau sebelum Mina senyaman sekarang. Boleh berbagi ya. Kalau tidak ada dan kalian mau tau lebih jauh, boleh juga tanya-tanya di kolom komentar ya, siapa tau dari pertanyaan itu dapat menarik ingatan dalam otak bagian dalam.
Selamat berlebaran.
Selamat Hari Raya Idul Adha.
Masya Allah, suatu perjalanan yang luar biasa dan pasti akan selalu dikenang sepanjang hayat. Bersyukur sekali bisa melaksanakan ibadah haji sejak kecil dan berkali-kali sementara sebagian warga Indonesia termasuk saya sekeluarga mesti menabung bertahun-tahun dan menanti lama baru bisa melaksanakan ibadah haji.
Terima Kasih bunda sudah mampir, alhamdulillah iya kak suatu kesyukuran bisa berhaji berkali-kali. semoga kita juga disegerakan dapat berhaji kaak . Love!
Masya Allah, bahagianya. Masa lalu yang pasti akan terkenang terus dan nanti babu Zee bisa baca di sini
Petualangan relijius selalu menggugah. Yang menarik bukan perjalananan fisiknya, tapi perubahan suasana batin para pejalan nya. Keren ceritanya kak Nu, ditunggu lagi. Saya langsung ingat film The Way (2010) tentang perjalanan ziarah Camino de Santiago de Compastela.
waaah jadi pen nonton filmnya. Terima kasih kak fadli! statementta jadi bikin semangat lagi untuk menulis. Ini vakum terlama sejak tulisan akhir tentang cerita personal haha. thanks yaaa 🙂
Terima kasih kakak, yg selalu memberi semangat dan support ngeblog. Semoga jadi kenangan untuk Zee jadi nilai2 dari keluarga dapat diturunkaan . Love!