Ini kali pertama mengikuti lomba blogging, tentang Rammang-Rammang. Keisengan dengan sedikit serius. Coba-coba dengan sedikit kesungguhan. Setelah berselancar ria di dunia maya, dari satu artikel ke artikel yang lain, hingga akhirnya mata saya terhenti pada satu nama dalam kalimat di salah satu artikel : Iwan Sumantri, seorang arkeolog senior dan dosen di UNHAS yang menghabiskan separuh hidup menelurusuri ratusan gua di perbukitan karst itu.
Heh ?! P. Iwan !
Tersentak, dia adalah salah satu paman –paling keren- yang termasuk sangat dekat dengan saya. Memang, P. Iwan merupakan keluarga paling asyik yang pernah saya temui. Hobbynya bertualang sama seperti istrinya yang dikenal sebagai atlet pemanjat tebing nasional. Banyak foto-foto keluarga yang Happy Family banget. Foto sekeluarga di tenda sambil camping, atau bersepeda bersama kedua anaknya, atau sekadar menanti sunset di café pinggir laut. Beberapa tahun yang lalu, beliau sering mengajak saya bersepupu berlibur sekali setahun. Saya menyebutnya Family trip. Family trip 1 , kami mengunjungi desa adat kajang dan bermain di Bara. Bukan sekedar liburan, Omku ini selalu menjelaskan kepada kami segala hal tentang sejarah, adat, budaya, dan cerita lainnya. Berikutnya kami diajak Explore Toraja, nginap di Tongkonan dan malamnya kami duduk melingkar, mendengarkan segala cerita perihal Toraja. Bukan saja tentang liburan dan cerita. Segala hal tentang kehidupan paling enak sharing dengan beliau.
Dalam keluarga saya, diajarkan memanggil anggota keluarga dengan sebutan Puang. Entah tante, paman, kakek, nenek, para sepupu, Puang A, Puang B dan Puang lainnya. Begitupun dengan Puang Iwan, statusnya adalah sepupu satu kali ummiku, Seperti keluargaku yang lainnya, saya menyebutnya juga dengan Puang Iwan, yang berikutnya saya singkat P. Iwan.
Malam itu juga –setelah menemukan namanya- , saya segera ke rumahnya. Bertamu untuk belajar.
P.Iwan… ceritakanka hal yang menarik tentang Rammang-Rammang.
Sambil tersenyum, paman keren itu mulai menjelaskan, sesekali keluar masuk ruangan yang penuh buku-buku bacaan, dan keluar dengan beberapa lembar jurnal terbaru. Semuanya saya rangkum dalam tulisan : Rammang-Rammang Museum Dunia.
Sambil bercerita tentang Rammang-rammang, saya menyelipkan cerita kesibukaan belakangan ini. Tentang Kelas Menulis Kepo.
Nak, Bagaimana kalau saya ajak kamu dan kelas menulismu untuk melihat langsung jejak nenek moyang kita.
Sebagai orang yang senang jalan-jalan, ini adalah tawaran menarik. Segera saya iyaka, segera lempar ajakan ke dalam grup, segera buat surat izin ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Makaassar, segera laksanakan kelas ini.
29 Agustus 2015
Tiga mobil beriringan menuju Pangkep. Kami tiba di lokasi sekitar pukul 16.00 di Gua pertama, Leang Lompoa. Leang Lompoa terletak di Kecamatan Minasate’ne, Kelurahan Biraeng dan Berada dalam gugusan karst Bulu Matojeng. Perjalanan kali ini disebut dengan : Berkunjung ke rumah nenek moyang. Kendaaraan beroda empat itu segera ditepikan. Di sisi kiri hamparan sawah terbentang. Tampak seorang petani sedang asik dengan padinya. Peserta kelas menulis mulai mengambil peralatan, alat tulis dan senter. Kamipun merapat di tepi telaga. Setelah perkenalan singkat, P.Iwan mulai bercerita.
Tentang sebuah bongkahan besar – bukan gunung, bukan batuan biasa- karst. Karst merupakan sebuah jenis batuan yang terbentuk akibat kondisi alam. Batu karst dikenal juga dengan limestone/ batuan kapur. Akibat fenomena geologis alam, terbentuklah gua-gua yang oleh manusia purba modern (Homo sapiens) dijadikan rumah. Karst ini bukan sekedar batu-batu biasa. Sifatnya yang seperti Sponge dapat menyerap air. Kawasan karst ini menjadi sumber air bagi warga sekitarnya. Tak heran sesekali mobil tangki air lewat di sepanjang jalan raya sekitar kawasan karst. Meski sedang kemarau, karst tersebut tetap menjadi sumber air bersih.
Pemandu trip berhenti bercerita. Mengajak kami berjalan lebih jauh ke dalam. Explore Leang Lompoa.
(Sesi penjelasan tentang Karst. Foto : Iqbal Lubis)
Leang lompoa merupakan salah satu rumah manusia prasejarah. Ketinggian 20 mdpl dengan 3 pintu masuk selebar 16 m, 4 m, dan 8 m dan tinggi 6 m. Kami menaiki tangga dan berhenti sejenak di bagian ceruk goa yang menjadi “teras rumah” manusia prasejarah. P.Iwan memanjat-manjat dan menunjukkan lukisan-lukisan di dinding gua. Cukup tinggi sehingga membuat kami bertanya-tanya bagaimana cara mereka menggambar di dinding sisi atas gua. Lukisan beragam, ada gambar tangan atau gambar-gambar abstrak. Setelah mendongak beberapa lama. Mengamati lukisan-lukisan yang sudah di beri nomer-nomer oleh peneliti sebelumnya. P. Iwan mengajak kami memasuki rumah mereka.
Di dalam “rumah”, kami menemukan jejak purbakala lainnya. Sampah dapur. Akibat fenomena alam sampah dapur ini sudah menyatu dengan dinding gua. Jika tidak jeli, kita tidak akan melihat sampah-sampah ini. Sampah dapur berupa cangkang mollusca dan arthropoda. Terdapat juga rahang dari tulang binatang besar (hewan bertulang belakang). Sampah-sampah dapat dijadikan acuan untuk area jelajahan manusia prasejarah. Cangkang kerang-kerangan menunjukkan mereka menjelajah hingga tepi laut.
(Sampah dapur – Foto : Dokumen pribadi)
Masuk lagi lebih dalam kedalam gua. Kami berjalan berbaris saling memberikan cahaya. Hitam dan gelap. Sambil berjalan menyisir rumah manusia purba, P. Iwan sesekali menunjukkan sisi keindahan ciptaan Tuhan lainnya. Berbagai ornament gua. Stalakmit-stalagtit hingga tiang-tiang yang menyatu. Atau kerlap-kerlip yang berwarna putih dalam kegelapan dari butiran-butiran fosfor seperti pasir. Di beberapa area yang luas, kami berasumsi : mungkin ini adalah aula mereka, mungkin ini kamar mereka, atau ini tempat bermain mereka.
Puas berkeliling dalam kegelapan, P.Iwan mengajak kami pulang, menuju basecamp dan berjanji akan menceritakan semuanya malam nanti. Masih di dalam kegelapan, Om saya itu tiba-tiba meminta semua peserta untuk mematikan senter, menghilangkan semua cahaya. Sekecil apapun itu. Gelap sempurna. Lebih gelap dari menutup mata dalam kamar dengan sinar lampu. Lebih gelap dari kondisi di rumah ketika PLN memadamkan listrik. Lebih gelap dari segala kegelapan-kegelapan yang pernah terjadi. salah seorang peserta disampingku, ulma, menekan lenganku sambil berbisik :
Kak nunu, mungkin begini yah di alam kubur, gelap, Takut.
Dan seketika tubuhku merinding, refleks menyalakan senter hp.
“Masih mau mengeluh kalau dapat giliran mati lampu?“ Sambil mengarah jalan keluar, P.Iwan berkelakar.
Usai Leang Lompoa, kami berberjalan kaki menuju rumah warga tempat kami beristirahat. Hamparan sawah serta aktivitas warga menjadi lukisan yang selalu membuat kami berhenti sejenak untuk mengabadikan moment. Sesekali singgah di warung kecil untuk membeli cemilan-cemilan dan minuman dingin. Cemilan habis, singgah lagi di warung berikutnya. Sempat kami lewati sebuah bak dengan tangki air. Sumber air untuk warga. Air tersebut berasal dari gugusan karst.
Tiba di rumah warga. Rehat sejenak dan merapikan barang. Sebelum malam, P.Iwan mengajak kami untuk mencoba hiburan lainnya. Terapi ikan. Dalam kolam kecil terdapat puluhan ikan seukuran jari. Kecil bergerombol. Masukkan saja kaki kedalam kolam dan ikan akan mengigit mesra kulit-kulit kaki. Menarik, tapi berhubung saya memiliki tingkat kegelian yang tinggi, kaki saya hanya dapat bertahan beberapa detik sebelum teriak lagi seraya menarik kaki dari kerumunan ikan. Kaget dan geli.
Adzan maghrib pun berkumandang. Menyelesaikan semua aktivitas dan kembali ke rumah. Para wanita mulai sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Entah karena kami adalah kelas menulis ataupun efek dari salah satu guru yang setiap pagi mengirimkan kalimat-kalimat puitis yang menginspirasi, membuat setiap perkataan kami selalu baper.
Lepas makan malam, kelas tentang seputar sejarah manusia di pulau sulawesi dimulai. Cerita yang sama dengan yang P.Iwan ceritakan padaku di rumahnya malam itu. Seputar teori Out of Taiwan, Out of Africa, kehidupan manusia prasejarah, dan tentang lukisan-lukisan tangan yang penuh makna. Malam itu menjadi malam yang panjang, banyak materi yang dikisahkan. Jam tengah malam, tema tentang arkeologi itu berubah menjadi kisah kehidupan p.iwan berlanjut cerita salah satu teman kelas menulis, Adnan, -pemain bola yang mewakili Indonesia mencetak gol di Milan- hingga pembahasan -yang membuat pipi bersemu merah atau wajah yang putih pucat- tentang “bagaimana menjadi bagian dari keluarga besar kami”.
30 Agustus 2015
Sarapan pagi sudah siap, pukul 10 kami mulai berjalan lagi. Kali ini perjalanan lebih jauh. Menuju Leang Sakapao. Sawah lebih banyak dilewati. Tiba di Leang Sakapao, leang yang cukup tinggi. Kami harus menaiki puluhan anak tangga, dan melewati tangga kayu yang sepertinya kemiringannya 85◦ .
Tiba di mulut gua. Serombongan siswa sedang belajar sejarah. P.Iwan mengambil posisi ditengah. Memberikan informasi penting kepada siswa. Saya mengelilingi area itu, terdapat sekitar 8 telapak tangan berjejer di salah satu dinding gua, di sisi lain terdapat lukisan hewan. Lebih banyak cave art ditemukan di Leang Sakapao ini. Lukisan-lukisan tersebut bukan sekadar gambar dinding biasa. Gambaran cap tangan yang berwarna coklat kemerahan tersebut menandakan adanya kehidupan di zaman Plestosin. Gua tersebut mereka -manusia modern awal- jadikan rumah. Lukisan lainnya berupa gambar hewan. Lukisan hewan tersebut merupakan ritual yang mereka jalani sebelum berburu. Mereka berdoa dengan cara menggambar hewan buruan sebagai bentuk pengharapan. Hal ini menunjukkan mereka sudah mempercayai adanya Tuhan dengan cara mereka.
(Lukisan Cap Tangan)
Puas dengan penjelasan tentang lukisan gua. Kami pun beranjak untuk turun. Waktunya makan siang. Tante saya,tante Muli, dengan senang hati sudah menyediakan makan siang. Dibawah pepohonan dan rumah singgah milik warga, kami duduk cantik menyantap masakan tante Muli.
Matahari semakin terik, tapi keceriaan semakin menjadi-jadi. Segala candaan dan keisengan pun mewarnai perjalanan pulang. Saya berjalan dibelakang, bersama 4 orang teman kelas. Om Enal -teman kelas yang saya sebut master botani – membuat sebuah permainan, semacam pluit yang berbunyi lucu. Dia juga membuat semacam terompet dari lilitan daun. Perjalanan ini yang sangat dinikmati.
Tiba dirumah, rasa lelah menyerang. Tiduran seadanya membuat kami tertidur nyenyak. Waktu sudah petang. Saya merasa lapar yang kedua kali. Diam – diam memasuki dapur, memasak untuk makan sore. Teman yang lain terbangun dan merasakan hal yang serupa. Tak terasa sekardus Indomie pun habis dilalap seluruh peserta kelas.
Sebelum gelap, kami berpamitan dengan pemilik rumah yang berbaik hati memberikan ruang. Perjalanan penuh ilmu dan kebahagiaan.
Kelas Menulis Kepo dan Keluarga P.Iwan
Jangan lupa bahagia!
Dunia jie ini !
Jangan lupa makan sore!
Sampai jumpa di kelas berikutnya 🙂
eh kok itu ada opik ? hmm
halo kak~
maap baru bangun dari hibernasi,
iya kak taufiq itu kakak saya 🙂