Selalu, dalam berkendara, sendiri, dan perjalanan jauh, pikiran saya selalu kemana-mana. Seperti bercakap dengan diri sendiri. Banyak hal yang muncul dalam pikiran, jika ada kesempatan untuk berkata sejujur, banyak hal ingin saya sampaikan. Seperti saat itu, saat saya menyetir dalam perjalanan pulang dari Dermaga Maccini Baji, Pangkep menuju Kota Makassar. Saya kembali berkontemplasi.
Saya baru saja mengantarkan pulang 3 adiks dari kelas fotografi The Floating School. Ketiga adiks ini bernama Hamzah (13 tahun), Jamal (16 tahun), dan Randy (19 tahun). Mereka berasal dari Pulau Satando dan Pulau Sapuli, Pangkep. Selama 4 hari, saya bersama fasilitator dari The Floating School, mendampingi mereka mengikuti Pameran Makassar Biennale di Kota Makassar. Suatu kesyukuran, mereka bertiga-seharusnya berempat bersama Syahrir- mendapatkan kesempatan untuk turut serta memajang foto-foto mereka tentang kepulauan, tentang aktivitas warga, tentang alam, tentang pendidikan di pulau, tentang hal-hal lainnya, dalam Pameran Makassar Biennale yang bertemakan Maritim. Terima kasih Makassar Biennale, salim!
Selama di Makassar, kami bercerita banyak. Bercerit a tentang impian, bercerita tentang cita-citanya yang sederhana. Jamal misalnya, setelah mengikuti kelas fotografi selama 6 bulan bersama kami, ia bercita-cita untuk menjadi fotografer kondangan di pulaunya. “Janganmi panggil tukang foto dari luar, saya mi saya saja yang fotoki.” Ungkap Jamal.
Tentang Jamal ini, saya melihat langsung prosesnya memulai belajar foto. Mulai dari belajar menekan tombol on dan off pada kamera. Dan melihat jelas ekspresi kaget ketika jepretan pertamanya mengeluarkan lampu flash dari kamera. Setelah enam bulan belajar, kali ini, di Makassar Biennale, dia sudah sejajar dengan seniman-seniman lokal maupun international yang turut serta memamerkan karya. Sekira 100 foto gabungan antara Jamal, Hamzah, Randy dan Syahrir terpajang dalam karya yang dinamakan Postcards from the Islands. Yang penasaran, masih bisa kunjungi pameran Makassar Biennale dari tanggal 8 – 28 November 2017 di Pelataran Phinisi UNM, Makassar.
Hamzah, sebagai fotografer yang termuda justru menghasilkan banyak foto-foto siluet yang menarik. Saya sempat bertanya sekilas tentang foto yang paling dia sukai.
“Saya suka foto yang atap-atap”
“kenapa dengan atap-atap rumah?”
“Karena bersusunki, terus awannya anu,”
“Anu Kenapa dengan awannya?”
“Apa itu dibilang kalau awannya mau hujan?”
“Oh, mendung?”
“iyaaaaaa”
Saya pun tertawa, mereka dari pulau, lebih banyak berbahasa Bugis campur Makassar. Kalau mereka bertiga berbicara, tak ada satupun kata yang saya pahami. Bahasa daerah mereka sangat kental.
Dalam empat hari di Makassar itu, mereka berkesempatan talkshow, Wicara Seniman bersama seniman dari Ternate, Fadriyah Syuaib dan dari Lombok, Pasir Putih Pemenang. Bagi ketiga adiks-adiks kami ini, bicara bersama orang baru saja membuat badan mereka bergetar. Apalagi di hadapan banyak orang. Sehari sebelum talkshow, mereka bertiga sempat merasa perut terlilit, gelisah tidak bisa tidur, dan selalu mencari Om Iqbal – Kakak Fasilitatornya yang mengajari fotografi -. Mereka merasa lebih tenang dengan keberadaan Om Iqbal. Selama gelisah-gelisah itu juga, saya bersama kak Ammy -Tim The Floating School- melatih mereka berbicara dengan mencoba memberikan beragam pertanyaan. Memberi keyakinan, bahwa tak ada satupun yang mereka kenal selama Wicara Seniman, dan jika tidak tahu apa bahasa Indonesianya, gunakan saja bahasa Makassar.
“Kak boleh ku kasih kecil saja suaraku, biarmi yang di depan saja yang dengar, janganmi di kasih dengar yang lain?” Duuh adiksadiks…
Hari Wicara Seniman pun tiba, mereka sebagai Postcarders duduk berdampingan dengan seniman lainnya. Saya duduk di bagian penonton area depan sebelah kanan. Moderator mulai bicara, dan ketiga adik ini terus menunduk. Menunduk sambil main-main karpet, atau menunduk pegang-pegang kepala. Saya tahu, mereka pasti merasa nervous tingkat dewa. Apalagi Om Iqbal tidak sempat hadir dikarenakan tugas negara. Selang beberapa saat, Daeng Armin –Mentor fotografi yang juga mendampingi bersama Om Iqbal belajar fotogafi- datang untuk duduk bersama adiks-adiks, muncul juga kak Appang- volunteer Makassar Biennale yang sempat mendampingi adik-adik di pulau dalam memotret- yang duduk dibelakang ketiga adik-adik ini. Kami semua tahu. Momen ini adalah momen pertama kali bagi mereka berbicara depan umum.
Saya yang duduk dengan turut merasa deg-degan dan terus memberi kode agar tetap tenang. Moderator mulai bertanya-tanya kepada para seniman. Pertanyaan pertama tentang karya. Secara bergantian, mereka menjawab. Awalnya terbata-bata, tapi kemudian mereka terus bercerita tentang karyanya. Cerita-cerita polos pun muncul.
“Cita-citaku, tetapji jadi nelayan. Sayakan anak pulau, harus tetap menjadi nelayan. Saya berfoto supaya orang-orang kota tauki, kalau pulauta itu bagus. Jangan dikasih rusak.” Kata Jamal ketika ia mulau menguasai dirinya.
“Kalau saya lebih banyak foto tentang anak-anak yang bersekolah, bangunki sebelum ada matahari, fotoki teman-temanta yang menunggu kapal untuk ke sekolah di daratan. Foto yang saya suka itu foto anak kecil yang berbaju SD lari-lari. Saya suka karena susahki fotonya. Haruski juga lari-lari didepannya mereka.” Randy, yang lebih dewasa dari ketiga ini sedikit lebih tenang.
“ Saya hamzah, saya suka foto apa saja. Ada ibu-ibu yang marahika waktu ambil foto. Karena takutki fotonya dibawa ke kantor polisi” Hamzah, sebagai yang termuda, justru bercerita dengan suara yang paling lantang.
Saya melihat mereka dengan mata yang berkaca-kaca. Ah, saya memang gampang tersentuh, melihat ini, saya merasa bangga atas kemampuan mereka menguasai dirinya. Yang penting percaya diri diks!
Setelah Wicara seniman selesai, mereka pun dikerubuti peserta, mengajak foto bersama. Saya penasaran dengan apa yang mereka rasa selama duduk di depan.
“Kak, tidak kurasaki kakikku, melayangka kurasa”
“Kak, itu toh, kalau ditanyaki, ku aturmi jawabanku di otak. Tapi paski pegang mic, kenapa na hilang semua apa yang mau kubilang”
“Iya kak, saya juga, tidak mauka liat matanya orang di depan, malu-maluka.”
Semua ketakutan-ketakutan itu, terlewatkan dengan sempurna, justru membuat saya terpukau dengan mereka. Kalian hebat diks!
Sepulang dari wicara seniman, mereka tak berhenti berbicara tentang pameran. Mereka merasa sangat bangga melihat foto-foto yang terpajang di Kota Makassar. Proud of you diks!
Mereka bertiga adalah adiks dari kelas fotografi The Floating School. Jika bisa berkata sejujurnya, saya ingin sekali mendampingi mereka dalam mencapai semua mimpi-mimpinya. Adik-adik kami ada 70, mereka semua orang-orang yang berbakat yang telah berkarya bersama The Floating School. Semenjak Februari 2017, setiap pekannya kami belajar bersama dengan 70 adiks-adiks kami dari pulau Satando, Pulau Saugi, Pulau Sapuli, Kabupaten Pangkep.
Secara pribadi, saya juga tidak menyangka, tahun 2017 ini akan dipenuhi dengan cerita bersama adik-adik kepulauan di The Floating School. Mereka sudah mencuri segala perhatian serta hati untuk terus mendukung mereka dalam berkarya. Untuk terus bersama mereka, untuk terus memberikan mereka keyakinan mempunyai cita-cita. Agar menjaga pulaunya, agar terus berbuat kebaikan.
Masih banyak adiks-adiks kami yang lain yang juga tak kalah berpotensi dalam berkarya. Ada kelas menulis yang sudah menulis banyak dan menggabungkannya dalam buku Suara Anak Pulau. Kelas menari yang membuat tarian kreasi sendiri dengan filosofi kepulauannya. Kelas menyanyi pun demikian, kelas menggambar yang coretannya membuat saya terpana. Kelas prakarya, yang telah menjadi fasilitator mengajarkan peserta lain dalam ber-prakarya dalam Festival anak. Kelas komputer, yang membuat mereka tidak canggung lagi dalam menyentuh laptop. Mereka seperti mutiara-mutiara yang akan ditemukan jika digali lebih dalam. Enam bulan waktu cukup lama untuk bersama-sama belajar dan berkarya.
Saya jadi teringat, pembicaraan dalam makan malam yang sederhana satu tahun yang lalu, tepat bulan ini juga, 26 November 2016. Pembicaraan itu telah mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan saya secara pribadi. Mempengaruhi pandangan, mempengaruhi keyakinan bahwa Indonesia kaya akan potensi.
Pembicaraan malam itu sangat sederhana, pembicaraan tentang : apa yang bisa kita lakukan?
Berbicara dengan dua kakak, yang membuat saya benar-benar merasa 2017 adalah tahun terbaik saya.
Banyak mimpi yang sepemahaman dengan mereka. Banyak keyakinan yang membuat kami merasa seperti manusia anomali, banyak hal yang membuat kami terus mau bergerak. Demi kebermanfaatan, demi kebaikan, demi Indonesia.
Jika saya bisa berkata sejujurnya, saya mau cerita juga, The Floating School ini benar-benar mewujudkan mimpi saya. Setelah bermimpi memenangkan kompetisi dan terwujud di tahun 2015, kemudian saya bermimpi karena ditantang untuk punya pengalaman internasional dan terwujud di tahun 2016, lalu saya bermimpi ingin berkarya. Tuhan Maha Kuasa, tahun 2017 saya tidak berkarya sendirian, tapi bersama 70 adik-adik dari kepulauan. Menguatkan keyakinan, bahwa setiap orang dapat berkarya.
Jika saya bisa berkata sejujurnya, saya ingin menyampaikan rasa syukur dan terima kasih tak terhingga pada seluruh fasilitator dan volunteer The Floating School. Terkadang saya bertanya-tanya, bisa-bisanya Tuhan mempertemukan saya dengan mereka. Dengan orang-orang hebat yang berdedikasi dan bergerak membuat adik-adik berkarya. Pun pada seluruh donatur dan sponsor yang terus memberi kami dukungan. Kami tidak tahu siapa 131 donatur dalam Kitabisa.com yang rela menyumbangkan dananya untuk pembuatan kapal kami. Mohon doanya, pembuatan kapal kami lancar jaya. Juga pada orang tua kami yang tetap memberikan izin dan dukungan penuh, untuk mewujudkan sekolah yang kami bangun dengan hati.
Jika saya bisa berkata sejujurnya, saya ingin menyatakan bahwa saya benar-benar telah jatuh cinta kepada segala hal tentang kepulauan, benar-benar jatuh cinta kepada mereka dengan gerakan kebermanfaatan, benar-benar jatuh cinta pada orang yang terus bermimpi dan menjaga mimpinya. Benar-benar jatuh cinta pada orang yang terus bergeliat dengan segala keanomaliannya.
Jika saya bisa berkata sejujurnya, saya ingin menyampaikan kepada seluruh manusia bumi, tentang keberadaan kami, tentang karya adiks-adiks kami.
Jika saya bisa berkata sejujurnya, saya ingin menyampaikan pada mereka, pada adiks-adiks kami, betapa kami sangat-sangat bangga terhadap mereka. Bangga akan kemampuan mereka, bangga bahwa kalimat : “Semua anak itu istimewa, semua anak dapat berkarya” itu benar adanya.
Teruslah berkarya diks! Proud of you diks!
Baperka ! Huaahhhh :’)))
Terima kasih kak nunu dan tim founder, sudah izinkan saya ikut berproses bersama adiks-adiks hebat itu :’)
Semoga semua proses yang sudah dilewati menjadi pemberat amalan kita di akhirat :’)
Ada taggar baru ku deh #banggakenalnunu?
duh tagar baru ituuu hahahah sama-sama adikkks, amin amiin amiin doaanya,semoga semua bernilai ibadah :”)
Terharu bacanya, Nu.
Semoga semangat Nunu dalam membimbing anak-anak pula selalu menggelora, supaya mereka bisa terus berkembang dan mendapat perhatian.
terima kasih kak Eryy~ insyaALlah kakk,Insya Allah kami tetap istiqomah bergerak untuk mereka 🙂
TErima kasih kakk :”)
Tetap semangat kakak Nunu, semangat terus berjuang. Semangat mengawal mimpi-mimpi mereka. Hanya bisa bantu doa buat Nunu dan semua yang terus bergerak di The Floating School ?
terima kasih kakk Nannieeeee~ InsyaAllah, terima kasih doa-doanyaa dan semangatnya untuk The Floating School :”)
Semangat semangat 🙂
terima kasih sudah mampir,semangat jugaa 🙂
Pingback: Tentang #2weeks1BookChallenge - Nur Al Marwah Asrul
Pingback: Edukasi, Kunci Kemerdekaan dan Kemajuan Bangsa – Nur Al Marwah Asrul